🌹 *Menikah menjaga jalan tabiat kebaikan …*
_*Faedah dari hadits Nabi صلى الله عليه وسلم*_
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany رحمه الله,
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” [Muttafaq Alaihi]
Imam Bukhari dan Nasa’i meriwayatkan tentang asbabul wurud hadits ini: Dari Al-A’masy, dia berkata: ‘Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama ‘Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas’ud), lalu beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak memiliki sesuatu apapun, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, ….”.
Yang dimaksud Ba’ah dalam hadits ada dua,
– kemampuan jima’
– kemampuan memberi nafkah, Imam Nawawi memilih yang kedua yaitu kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi, “Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya”. [Syarh Shohih Muslum, Imam An-Nawawy]
Hadits tersebut di atas memberikan hikmah yang sangat penting dalam pernikahan, yaitu “karena pernikahan itu lebih mampu menjaga pandangan dan lebih mampu memelihara kemaluan”. Ini merupakan jaminan yang sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan dan kemaluannya.
Dari makna “Aghaddu” dan “Ahshonu” yang berarti “lebih mampu menundukkan” dan “lebih mampu memelihara” untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan, yaitu terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat.
Islam juga memberikan pengarahan bagi para pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak syahwat.
Hukum-hukum yang sangat penting berkaitan dengan masalah kehidupan masyarakat Islam dari hadits diatas, yaitu:
1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah
Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang telah mampu. Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang telah mampu adalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani, masturbasi, dan lainnya). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.
Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul, “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Jika berpuasa disunnahkan, maka menikah pun demikian, karena puasa adalah sebagai ganti dari menikah.
2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya
Berikut ini rinciannya:
– Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa, sementara ia mampu menikah.
– Haram, bagi yang belum mampu berjima’ dan membahayakan kondisi pasangannya jika menikah.
– Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
– Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
– Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan biologisnya semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam kemaksiatan.
Akan tetapi menurut pendapat para ulama muhaqqiqin, yang terakhir ini hukumnya sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara mutlak.
Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan untuk berjima’, berdasarkan hadits “Sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)” dan juga hadits-hadits yang secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya.
3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan lain sebagainya.
4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda, kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka.
Wallahu A’lam.
📚 Dinukil secara ringkas dari mausu’ah Bulughul Maram
🍃 Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc