Bab 18
Nabi Tidak Dapat Memberikan Hidayah, Kecuali Dengan Kehendak Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
(QS. Al-Qasas 28: Ayat 56)
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa bapaknya berkata,
Tatkala Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah kepadanya dan saat itu ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahl berada di sisinya, maka beliau bersabda kepadanya, Wahai pamanku! Ucapkanlah “La Ilaha Illallah” suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah. Tetapi disambut oleh ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?” Lalu Nabi mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan “La Ilaha Illallah”. Kemudian Nabi bersabda, “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang.” Lalu Allah menurunkan firmanNya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۤ اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَ لَوْ كَانُوْۤا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya) setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni Neraka Jahanam.”
(QS. At-Taubah 9: Ayat 113)
Kandungan Bab Ini
1. Tafsiran ayat: “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah masuk Islam hanya di Tangan Allah saja, tiada seorang pun yang dapat menjadikan seseorang menepati jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendakNya; dan mengandung bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa para nabi dan wali dapat mendatangkan manfaat dan menolak mucharat, sehingga diminta untuk memberikan ampunan, menyelamatkan diri dari kesulitan dan untuk kepentingan-kepentingan lainnya.)
2. Tafsiran ayat: “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik.” (Ayat ini menunjukkan bahwa haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik; dan haram pula ber-wala’ (mencintai, memihak dan membela) kepada mereka.)
3. Masalah penting sekali, yaitu tafsiran sabda beliau, Ucapkanlah, “La Ilaha Illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu. (Tafsirannya adalah, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan apa yang menjadi konsekwensinya, yaitu memurnikan ibadah kepada Allah dan membersihkan diri dari ibadah kepada selainNya seperti malaikat, nabi, wali, kuburan, batu, pohon, setan dan lain sebagainya.)
4. AbuJahl dan kawan-kawannya mengerti maksud Nabi tatkala beliau masuk dan bersabda kepada pamannya, Ucapkanlah, “La Ilaha Illallah.” Karena itu, celakalah orang yang salah pengertiannya dengan Abu Jahl tentang asas utama Islam.
5. Kesungguhan dan usaha maksimal Rasulullah kepada paman beliau untuk masuk Islam.
6. Bantahan terhadap orang yang mengatakan ‘Abdul Muththalib dan leluhurnya menganut Islam.
7. Abu Thalib tidak diberi ampunan oleh Allah ketika Rasulullah memintakan ampun untuknya, bahkan beliau dilarang.
8. Bahaya bagi seseorang yang jika berkawan dengan orang-orang berpikiran dan berperilaku buruk.
9. Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan orang-orang terkemuka.
10. “Nama besar” mereka inilah yang menjadikan orang-orang Jahiliyah sebagai tolok ukur kebenaran yang mesti dianut.
11. Hadits tersebut mengandung suatu bukti bahwa amal seseorang dilihat dari akhir hidupnya; sebab seandainya Abu Thalib mau mengucapkan kalimat Syahadat, niscaya akan berguna dirinya di hadapan Allah.
12. Perlu direnungkan, betapa beratnya hati orang-orang tersesat itu untuk menerima kalimat tauhid, karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal pikiran mereka; sebab dalam kisah tadi disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali supaya menolak untuk mengucapkan kalimat tauhid, padahal Nabi sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulang kali memintanya untuk mengucapkannya. Oleh karena kalimat tauhid ini sudah jelas maknanya dan besar konsekwensinya menurut mereka, maka cukuplah bagi mereka dengan menolak untuk mengucapkannya.