Allah menceritakan dalam Al-Qur’an fragmen cerita nyata tentang penyesalan yang terjadi pada sebagian penduduk neraka karena mereka mengambil pengajaran dan mengikuti tokoh yang sesat,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا.
يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا.
لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا.
(ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”.
Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku).
Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. [QS. Al-Furqon: 27 – 29]
Menuntut ilmu agama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan menjadikannya sebagai landasan beramal shalih adalah tanda kebaikan yang Allah kehendaki bagi para hamba yang dipilih-Nya.
Rasylullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa Allah kehendaki baginya kebaikan maka Dia akan menjadikannya paham tentang urusan agamanya.” [HR Al-Bukhory, Muslim]
Namun demikian, setiap muslim harus menyadari pentingnya ilmu dan juga pentingnya menjaga jalan sumber mengambil ilmunya, karena hal itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Muhammad bin Sirin pernah mengingatkan,
إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينكم
Ilmu adalah bagian dari agama, karena itu perhatikan, dari mana kalian mengambil agama kalian. [Siyar A’lam an-Nubala’, 4/606]
Imam Malik رحمه الله juga mengingatkan, agar tidak mengambil ilmu dari sembarang orang.
Beliau berkata:
لا يؤخذ العلم عن أربعة:
⏺سفيه يعلن السفه وإن كان أروى الناس،
⏺وصاحب بدعة يدعو إلى هواه،
⏺ومن يكذب في حديث الناس، وإن كنتُ لا أتهمه في الحديث،
⏺وصالح عابد فاضل إذا كان لا يحفظ ما يحدث به”.
“Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat jenis manusia, (yaitu):
(1) Dari orang bodoh yang terang kebodohannya sekalipun dia manusia yang paling banyak meriwayatkan,
(2) Dari penyeru bid’ah yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya,
(3) Dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah,
(4) Tidak pula dari seorang yang shalih dan ahli ibadah serta memiliki keutamaan tetapi dia tidak menjaga apa yang dibicarakannya.” [An-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23]
Wallahu a’lam
🍃 Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc